Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, definisi dari pendidikan adalah:
“suatu
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”
Dari
definisi ini nampak jelas bahwa fokus objek pendidikan adalah “peserta
didik” yang dituntut untuk selalu aktif mengembangkan potensi dirinya.
Hal ini berarti bahwa model pendidikan satu arah dimana guru, dosen,
atau tenaga pengajar menjadi fokus utama dalam proses pembelajaran
sudah tidak diminati atau tidak relevan lagi (Andres, 1999).
Mempertimbangkan bahwa setiap peserta didik memiliki gaya belajar yang
berbeda-beda, maka dewasa ini mulai dikembangkan metode belajar
mengajar yang sesuai dengan sifat dan karakteristik masing-masing
individu peserta didik tersebut (Prashnig, 2007). Bagi generasi peserta
didik yang lahir setelah tahun 1990, keberadaan beragam teknologi
elektronika dan digital telah menjadi bagian hidup keseharian mereka
yang tidak terpisahkan, terutama bagi mereka yang tinggal di kota-kota
besar. Pertumbuhan warung internet yang sedemikian pesat, peningkatan
transmisi SMS (Short Message Service) yang sangat tinggi, penambahan
jumlah menara BTS (Base Transceiver Station) dimana-mana, pengenalan
beragam kanal-kanal televisi baru, dan lain-lain memperlihatkan bahwa
bagi generasi masa kini, media teknologi ini mau tidak mau sudah
menjadi bagian dari dunia pembelajaran mereka sehari-hari. Sehingga
jika mereka harus masuk ke kelas di sekolah maupun kampus untuk belajar
formal, ketidakadaan fasilitas teknologi yang biasa mereka pergunakan
untuk “belajar” sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat akan
menjadi pertanyaan besar dan kenyataan serius yang mereka hadapi. Ini
adalah sebuah contoh sebuah konteks dan alasan mengapa keterlibatan TIK
dalam proses mengajar-belajar menjadi sedemikian penting dan
krusialnya. Generasi yang oleh Don Tapscott dinamakan sebagai “the net
generation” ini memiliki karakteristik unik terkait dengan proses
belajar (Tapscott, 1998); diantaranya adalah: lingkungan belajar yang
menyenangkan, proses belajar yang menarik, ragam referensi yang
berbasis multimedia, dan lain sebagainya (Lancaster, 2002).
Konteks
berikutnya mengapa TIK begitu penting bagi pendidikan adalah ditinjau
dari perspektif historis. Dalam sejarahnya, proses pembelajaran dimulai
melalui suatu proses komunikasi antara satu pihak dengan pihak lainnya
(Sadiman, 1986). Dalam kaitan ini, teknologi terkait dengan mekanisme
komunikasi dibutuhkan karena adanya keterbatasan dari panca indera
manusia. Mencoba memahami bagaimana proses terjadinya gerhana matahari
total, bagaimana proses pertumbuhan pohon beringin terjadi selama
ratusan tahun, bagaimana tahapan musnahnya dinosaurus dari muka bumi,
dan bagaimana tumbukan dua buah atom bisa terjadi merupakan sejumlah
contoh menantang tingkat kognitif setiap peserta didik di sekolah.
Tanpa adanya alat bantuan komunikasi (baca: media teknologi), akan
sangat sulit bagi siswa untuk dapat membayangkan bagaimana sejumlah
fenomena alam tersebut terjadi. Oleh karena itulah maka keberadaan TIK
sebagai teknologi bantu proses mengajar-belajar menjadi suatu kebutuhan
yang tak terelakkan dewasa ini.
Dalam
komunikasi, terjadi proses pertukaran informasi antara satu pihak
dengan lainnya, dimana isi pesan dari komunikasi ini selanjutnya diolah
oleh otak manusia untuk menjadi sebuah pengetahuan (Djiwandono, 2006).
Hal ini berarti bahwa “informasi” merupakan bahan baku dari
pengetahuan. Dalam perspektif inilah pemanfaatan TIK yang ketiga
menemui konteks peranan berikutnya. Sebagai teknologi yang memiliki
ciri fiksatif, manipulatif, dan distributif terhadap informasi yang
menjadi bahan bakunya (Azhar, 1997), pemanfaatan dan penerapan media
pendidikan ini sangat selaras dengan hakekat pendidikan itu sendiri
(Muliawan, 2008). Selain memiliki ketiga ciri tersebut, TIK juga
menawarkan kemampuan untuk menjadi penampung (baca: repositori)
sekaligus pengingat (baca: memori) pengetahuan kolektif yang diciptakan
dan dipelihara secara turun-temurun oleh umat manusia (Lim, 2008).
Konteks
terakhir mengapa TIK begitu berkembang di dunia pendidikan adalah
karena inovasi dari teknologi itu sendiri. Salah satu sifat dari TIK
adalah kemampuannya untuk melakukan proses digitalisasi terhadap
berbagai sumber daya fisik, seperti: tulisan (teks), citra (gambar),
suara (audio), dan film (video). Keseluruhan bentuk multimedia tersebut
pada hakekatnya merupakan sumber daya yang dapat merepresentasikan
berbagai bentuk pengetahuan dengan segala variasinya (Munir, 2008) –
seperti buku digital, animasi kartun, pustaka suara, rekaman interaksi,
ilustrasi gambar, dan lain sebagainya. Selain mampu merepresentasikan
entitas fisik, perkembangan inovasi TIK berhasil pula
mentransformasikan alias mendigitalisasikan proses (Prawiradilaga,
2004). Lihatlah bagaimana peristiwa “belajar” dapat didigitalisasikan
dan ditransformasikan menjadi model belajar e-learning (Rossett, 2002).
Atau aktivitas interaksi guru-siswa dalam kelas yang kini dapat
ditransformasikan bentuknya dengan menggunakan fasilitas video
conference (Wen, 2003). Contoh lain adalah terciptanya suatu interakasi
dua arah antara peserta didik dengan program komputer melalui aplikasi
pembelajaran tertentu, seperti berhitung, menulis, membaca,
bereksperimen, dan lain sebagainya.
Singkat
kata, keberadaan TIK sebagai sebuah teknologi pendidikan akan dan telah
menjadi bagian terintegrasi yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan
masa kini (Kumail, 2002). Adalah merupakan kewajiban setiap institusi
dan praktisi pendidikan untuk dapat memanfaatkan media teknologi yang
sesuai dengan kebutuhan peserta didik dewasa ini dan di masa mendatang
(Prawiradilaga, 2007).
>>(Greena Novan, A. Md)
0 komentar:
Posting Komentar